Rabu, 27 April 2011

Macam-macam Motivasi dalam Belajar Mengajar




Motivasi sendiri ada dua, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah : “motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu di rangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu”.

Dengan demikian motivasi intrinsik dapat pula dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan pada suatu dorongan dalam diri dan secara mutlak terkait dengan aktivitas belajar. Sedangkan menurut Chalijah Hasan motivasi intrinsik adalah : “jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dan dorongan dari orang lain”

Ada beberapa macam terbentuknya motivasi intrinsik dalam kegiatan belajar, antara lain :
-  Adanya Kebutuhan
“Tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun psikis”.
-  Adanya Cita-Cita
Selanjutnya pendorong yang mempunyai pengaruh besar adalah adanya cita-cita. Cita-cita merupakan pusat bermacam-macam kebutuhan-kebutuhan, artinya kebutuhan-kebutuhan itu biasanya direalisasikan di sekitar cita-cita itu. Sehingga cita-cita tersebut mampu memberikan energi kepada anak untuk melakukan sesuatu aktifitas belajar.   Jadi seseorang anak harus mempunyai cita-cita dan dengan cita-cita tersebut dapat meraih apa saja yang diinginkan. Selanjutnya Zakiah Daradjad menjelaskan bahwa : “Manfaat sikap-sikap cita-cita dan rasa ingin tahu anak. Pada umumnya anak-anak preadolescent dan permulaan adolesent memiliki cita-cita yang tinggi dan sering mereka memberi respon dalam bentuk kerja sama permainan, kejujuran dan karajinan”.
-  Keinginan Tentang Kemajuan Dirinya 
Di dalam proses belajar, motivasi memang memegang peranan penting. Menurut Sadirman bahwa : “melalui aktualisasi diri pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu”.
-  Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan kalau disertai dengan minat.

Motivasi Ekstrinsik
Menurut Chalijah Hasan motivasi ekstrinsik adalah “jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar”.  Sedangkan Sadirman menyebutkan : “motivasi ekstrinsik itu adalah motif-motif yang aktif dan fungsinya karena adanya perangsang dari luar”.

Anak didalam melakukan sesuatu aktifitas belajar seringkali mengalami kesulitan dan untuk mengatasi kesulitan tersebut keluarga sebagai pilar utama harus membantu anak dalam mengatasi kesulitan tersebut. Dengan pemberian dan penanaman motivasi kepada anak dapat menjadikan anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, lepas dari ketergantungan serta tidak mudah putus asa.

Ada beberapa cara untuk menumbuhkan dan membangkitkan anak agar melakukan aktifitas belajar, diantaranya adalah :
-  Pemberian Hadiah
Hadiah merupakan alat pendidikan yang bersifat positif dan fungsinya sebagai alat pendidik represif positif. Hadiah juga merupakan alat pendorong untuk belajar lebih aktif.  Motivasi dalam bentuk hadiah ini dapat membuahkan semangat belajar dalam mempelajari materi-materi pelajaran.

-  Kompetensi
Saingan atau kompetensi dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong belajar anak, baik persaingan individu maupun kelompok dalam rangka meningkatkan prestasi belajar anak. Memang unsur persaingan itu banyak digunakan dalam dunia industri dan perdagangan, tetapi sangat baik jika digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar anak.

-  Hukuman
Hukuman merupakan pendidikan yang tidak menyenangkan, alat pendidikan yang bersifat negatif, namun demikian dapat menjadi alat motivasi atau pendorong untuk mempergiat belajar anak. Anak akan berusaha untuk mendapatkan tugas yang menjadi tanggung jawanya, agar terhindar dari hukuman.

Ishom Ahmadi menyebutkan, “Hukuman adalah termasuk alat pendidikan represif yang bertujuan menyadarkan anak didik agar melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku”.  Sebelum hukuman diberikan, hendaknya pendidikan atau orang tua mengetahui tahapan-tahapan seperti yang disebutkan oleh Ishom Ahmadi, antara lain : a) Pemberitahuan, b) Teguran, c) Peringatan, d) Hukuman.

Dengan demikian, hukuman merupakan tindakan yang paling akhir diambil apabila teguran dan peringatan belum mampu mencegah anak melakukan pelanggaran-pelanggaran.

-  Pujian
Pujian diberikan dengan dua cara yaitu secara lisan dan tulisan. Tulisan seperti piagam penghargaan, menulis kata-kata yang nadanya memuji pada lembaran kertas semacamnya.

_________________________________-
Daftar Pustaka :
Zakiah Daradjad, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakara : Bumi Aksara, 1995
Sardiman, Strategi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Prof. Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, M.Pd, 2007, Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, Bandung : PT. Refika Aditama

Macam-macam Pendekatan Pembelajaran



Ada beberapa macam pendekatan pembelajaran yang digunakan pada kegiatan belajar mengajar, antara lain :
1.      Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa

Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id). Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata guru.

Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesama teman, misalnya melalui pembelajaran  ooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible, Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.

2.      Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).

Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)  kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.

Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.

Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.

Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.

3.      Pendekatan Deduktif – Induktif
a.  Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005)

b. Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.

Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.

Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.

Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.

Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.

Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.
4.      Pendekatan Konsep dan Proses
a.       Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
b.      Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses
mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi
peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian
integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman
yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya

5.      Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)memandang STM sebagai the teaching and learning of science in thecontext of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatkan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari.Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE(2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STMharuslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagaidisiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalampengembangan pembelajaran di era sekarang ini.

Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.

Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah


Sumber :
Abdul Rahim Rashid. (1998). Ilmu Sejarah: Teori dan amalan dalam pengajaran dan pembelajaran Sejarah. Kertas kerja yang dibentangkan dalam Simposium Sejarah, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 30–31 Oktober.
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung: Penerbit Alfabeta. Ausubel, D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning. New York: A
Grune & Stratton Inc.
Bybee, R. W. (1993). Leadership, responsibility and reform in science education. Science Educator, 2,1–9.
Depdiknas. (2002). Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based Education, High-Based Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta: Depdiknas.
Firdaus M Yunus. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo freire-Y.B Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka
(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/)
(http.//www.contextual.org.id)
(http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html)
(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/
(http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/message/1907).
(ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
IOWA State University. (2003). Incorporating Developmentally Appropriate Learning Opportunities to Assess Impact of Life Skill Development.
Lifeskills4kids. (2000). Introduction & F.A.Q.
Ngalim Purwanto. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Lee, Kwuang-wu. 2000. English Teachers’ Barriers to the Use of Computer assisted Language Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12,
December 2000. http:/www..aitech.ac.jp/~iteslj/ (Frequently Asked Questions). kdavis@LifeSkills4Kids.com
Suhandoyo (1993). Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Interaksi Positif dengan Lingkungan. Yogyakarta: PPM IKIP Yogyakarta.
Supriyadi. (1999). Buku Pegangan Perkuliahan Teknologi Pengajaran Fisika. Yogyakarta: Jurdik Fisika FMIPA UNY
Suyoso. (2001). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Trowbidge dan Byebee. (1986). Becoming a Secondary school science Teacher. London: Merill Publishing Company.
Utah State Board of Education. (2001). Life Skills. www.caseylifeskills.org
Rusmansyah.(2000). Prospek Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) dalam pembelajaran Kimia di Kalimantan Selatan.